Selamat Datang di Blog Abdul Alim Yamin

Jumat, 24 Oktober 2008

Faktor Pembatas Dalam Ekosistem

Ekosistem Secara Umum

Ekosistem merupakan suatu kesatuan di dalam alam yang terdiri dari semua organism yang berfungsi bersama-sama di suatu tempat yang berinteraksi dengan lingkungan fisik yang memungkinkan terjadinya aliran energi dan membentuk struktur biotik yang jelas dan siklus materi di antara komponen hidup dan tak hidup (Anonim, 2007). Oleh karena itu, di dalam suatu ekosistem harus terjadi keseimbangan antara komponen biotik maupun komponen abiotik sehingga aliran energi yang terjadi dengan baik.

Sebuah ekosistem adalah level paling kompleks dari sebuah organisasi alam. Ekosistem terbentuk dari sebuah komunitas dan lingkungan abiotiknya seperti iklim, tanah, air, udara, nutrien dan energi. Ahli ekologi sistem adalah mereka yang mencoba menghubungkan bersama beberapa perbedaan aktifitas fisika dan biologi di dalam suatu lingkungan. Penelitian mereka seringkali terfokus pada aliran energi dan perputaran material-material yang ada di dalam sebuah ekosistem. Mereka biasanya menggunakan komputer yang canggih untuk membantu memahami data-data yang dikumpulkan dari penelitian di lapangan dan untuk memprediksi perkembangan yang akan terjadi (Anonim, 2007). Sebuah ekosistem yang sederhana dapat digambarkan seperti berikut. Matahari menyediakan energi yang hampir dibutuhkan semua produsen untuk membuat makanan. Produsen terdiri dari tanaman-tanaman hijau seperti rumput dan pohon yang membuat makanan melalui proses fotosintesis.

Gambar 1. Aliran energi dan siklus materi

Tanaman juga membutuhkan bahan-bahan abiotik seperti air dan pospor untuk tumbuh. Yang termasuk konsumen pertama diantaranya tikus, kelinci, belalang dan binatang pemakan tumbuhan lainnya. Ular, macan dan konsumen kedua lainnya atau yang biasa disebut dengan predator adalah pemakan binatang. Pengurai seperti jamur dan bakteri, menghancurkan tanaman dan binatang yang telah mati menjadi nutrien-nutrien sederhana. Nutrien-nutrien tersebut kembali ke dalam tanah dan digunakan kembalioleh tanaman-tanaman.

Tingkatan-tingkatan energi yang berkesinambungan yang berlangsung dalam bentuk makanan ini disebut rantai makanan. Di dalam sebuah rantai makanan yang sederhana rumput adalah produsen, konsumen pertama seperti kelinci memakan rumput. Kelinci selanjutnya dimakan oleh konsumen kedua misalnya ular atau macan. Bakteri pengurai menghancurkan sisa-sisa rumput yang mati, kelinci, ular, dan macan yang tidak termakan, sama halnya seperti menghancurkan kotoran binatang.

Faktor Pembatas Ekosistem

Dalam suatu ekosistem, bila salah satu dari elemennya terganggu, maka elemen lain juga akan turut terganggu. Apalagi jika elemen yang terganggu itu adalah elemen major. Elemen yang mempengaruhi banyak elemen lain. Suhu umpamanya. Ekosistem dan iklim bumi banyak bergantung pada perubahan suhu. Tiupan angin, taburan hujan, empat musim, ombak dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan di adalam ekosistem.

Salah satu faktor yang menjadi pembatas di dalam suatu ekosistem adalah tempratur, dimana tempratur ini merupakan bagian dari klimat. Tempratur di dalam suatu ekosistem akan berpengaruh secara langsung terhadap ternak, misalnya :

a) Pengaruh tempratur terhadap pertumbuhan ternak, dimana pada suatu daerah yang memilki tempratur yang tinggi dapat mengurangi nafsu makan. Sebaliknya, konsumsi air meningkat akibat penguapan yang begitu tinggi pada tubuh ternak, sehingga ternak akan kekurangan zat-zat nutrisi yang dibutuhkan dalam pertumbuhan. Menurut Reksohadoprodjo, (1995) bahwa bila stress klimat, menekan nafsu makan, mengurangi sengaman (konsumsi) makanan dan waktu merenggut hijauan, maka akibatnya terjadi pengurangan produktivitas ternak yang tercermin dari pertumbuhan ternak dan hasil air susu yang kurang. Selain itu, lama ternak merumput di padang pengembalaan yang dipengaruhi secara langsung oleh tempratur. Karena pada umunya ternak tidak tahan terhadap panas dalam waktu yang lama.

b) Pengaruh tempratur terhadap reproduksi, tempratur udara tinggi atau perubahan mendadak tempratur udara yang dapat terjadi terutama di daerah subtropik, dapat berpengaruh langsung terhadap penampilan kemampuan reproduksi sapi dan basah udara tinggi menunjang pengaruh tempratur tinggi. Dan kematian embrio atau pun fetus akan terjadi akibat tempratur yang begitu tinggi.

c) Pengaruh tempratur produksi susu, kebanyakan bukti dari percobaan mengatakan bahwa produksi air susu, lemak, dan bahan solids nonfat berkurang dengan naiknya tempratur. Klimat mempunyai pengaruh nyata terhadapa bahan solids tanpa lemak. Produksi air susu sapi dari ternak kembar yang diteliti dan ditempatkan di daerah temprate adalah 44 % lebih tinggi disbanding kembarnya yang ditempatkan di daerah tropik dan produksi lemaknya 56 % lebi tinggi (Reksohadoprodjo, 1995).

Akibat cekaman panas menyebabkan terjadinya penurunan konsumsi pakan, produksi susu dan bobot badan. Penurunan tersebut dikarenakan ternak berusaha menurunkan produksi panas, karena ada tambahan panas (heat gain) dari luar tubuh, dengan cara mengurangi konsumsi pakan sehingga berakibat terhadap penurunan bobot badan. Pengaruh kondisi lingkungan terhadap penambahan bobot badan, produksi susu, konsumsi pakan (hay) Penurunan ini terjadi karena selama dalam cekaman panas di dalam tubuh sapi justru terjadi katabolisme protein otot dan peningkatan Glucogenesis (Purwanto, 2007). Sedangkan pengaruh tempratur secara tidak langsung terhadap ternak yaitu pengaruh tempratur terhadap pakan (hijauan) terutama pada kualitas dan kuantitas pakan Sehingga akan kekurangan sumber gizi yang dapat menurunkan produktivitas ternak.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007. Ekologi. http ://www. Merbabu.com. (05/12/2007)

----------, 2007. Bahan Ajar Ilmu Lingkungan Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Purwanto, B. P. 2007. Biometeorologi Ternak. Materi Kuliah Online Geomet FMIPA IPB, Bandung. (diakses 05/12/2007).

Reksohadoprodjo, 1995. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta.

Senin, 20 Oktober 2008

UMB, UMLB, dan CB

PRAKTIKUM PEMBUATAN UMB (Urea Molases Block), UMLB (Urea Mineral Lick Block), dan CB (Coming Block)
The Experiment Of UMB (Urea Molasses Block), UMLB (Urea Mineral Lick Block), dan CB (Coming Block)
Abdul Alim Yamin
Student of Animal Nutrition Departement, Animal Science Faculty
Hasanuddin University
Abstrak
Praktikum ini bertujuan untuk mengatuhui cara pembuatan UMB, UMLB, dan CB sebagai suplemen bagi ternak ruminansia. Pada praktikum ini menggunakan beberapa bahan yaitu molases, urea, NaCl, kapur, mineral sapi, semen, jagung, dedak padi dan air secukupnya. Prinsip kerja dari pembuatan UMB, UMLB, dan CB adalah campuran beberapa bahan disatukan kemudian dipress, apabila telah terbentuk menjadi blok maka bagian tengahnya diberi lubang dan diberi pipa yang berdiameter kecil. Setelah itu, dikeringkan sejenak dan dimasukkan ke dalam oven.
Abstract
The aim of this experiment was to know to manufacture UMB, UMLB, dan CB as supplement for ruminant animal. This experiment used some feedstuff such as molasses, urea, NaCl, chalk, cow mineral, cement, corn meal, rice bran and enough water. The principle of this experiment, some feedstuff were combined then pressed, if they have been a block, thus median of blocks were entered a small diameter of tube. Then, they were dryed a few minutes and put in the oven.

PENDAHULUAN
Ternak ruminansia merupakan ternak yang sangat berperan di dalam memenuhi kebutuhan akan protein hewani bagi masyarakat, utamanya di Negara-negara maju sehingga budidaya ternak ruminansia sangat berkembang dan maju di era modern. Di Negara berkembang seperti saat ini kebutuhan akan protein hewani semakin hari semakin meningkat, hal tersebut disebabkan oleh adanya pergeseran konsumsi masyarakat di dalam kehidupannya. Oleh karena itu, dalam aspek budidaya khususnya dalam teknologi feedlot (penggemukan), sehingga hal yang sangat berperan adalah bagaimana pemberian pakan suplemen yang akan berdampak pada peningkatan berat badan. Selain itu, dampak yang lain adalah memberikan nutrisi bagi tubuh ternak seperti protein, karbohidrat, mineral, dan vitamin. Dimana hal tersebut, sangat berperan untuk hidup pokok dan produksi ternak.
Pada akhir ini telah banyak ditemukan pakan suplemen bagi ternak ruminansia seperti UMB (Urea Molases Block), UMLB (Urea Mineral lick Block), dan CB (Coming Block). Ketiga suplemen tersebut menggunakan bahan-bahan dan alat yang sangat sederhana sehingga para petani-peternak yang berada di daerah mampu membuat suplemen, kecuali mungkin di dalam penyediaan bahan baku seperti molasses. Molasses merupakan limbah industri pembuatan gula, dan biasanya hanya terdapat pada daerah-daerah tertentu saja. Di Sulawesi Selatan, hanya terdapat pada kabupaten Bone (Camming dan Arasoe). Sehingga daerah-daerah yang sulit mendapatkan molasses, maka tidak menggunakan molases dengan kata lain daerah-daerah tersebut tidak dapat membuat UMB, tetapi UMLB (Urea Mineral Lick Block) yang dapat dijadikan sebagai sumber protain dan mineral yang tinggi bagi ternak ruminansia utamanya bagi ternak betina yang sedang bunting untuk pembentukan tulang dan gigi foetus.

MATERI DAN METODE
Praktikum ini menggunakan alat-alat ; alat press, timbangan, emeber, baskom, pipa, dan kantong plastic. Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah molases, urea, NaCl, semen, kapur, mineral sapi, dedak padi, dan jagung.
Di dalam metode pembuatan dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Urea Molases Block (UMB)
Dalam pembuatan UMB dibagi menjadi empat campuran yaitu campuran I (terdiri dari molases 1280g, urea 240g, dan NaCl 200g), campuran II (kapur 200g, mineral sapi 120g), campuran III (semen 280g dan air secukupnya), dan Campuran IV (jagung 480g dan dedak padi 1200g). kemudian keempat campuran tersebut disatukan kemudian dipress, apabila telah terbentuk menjadi blok maka bagian tengahnya diberi lubang dan diberi pipa kecil. Setelah itu, dikeringkan sejenak dan dimasukkan ke dalam oven.
b) Urea Mineral Lick Block (UMLB)
Dalam pembuatan UMLB terdiri dari tiga campuran yaitu campuran I (Urea 200g, dedak 400g, mineral sapi 400g), campuran II (garam secukupnya), dan campuran III (semen 600g dan air secukupnya). Setelah itu, ketiga campuran tersebut dicampur menjadi satu dan dipress, apabila telah terbentukS menjadi blok maka bagian tengahnya diberi lubang dan diberi pipa kecil. Setelah itu, dikeringkan sejenak dan dimasukkan ke dalam oven.
c) Coming Block (CB)
Dalam pembuatan CB terdiri tiga campuran yaitu campuran I (molases 1 kg, dan garam 480g), II (dedak padi 1,2 kg, kapur 400 gr, semen dan air secukupnya). Setelah itu, kedua campuran tersebut dicampur menjadi satu dan dipress, apabila telah terbentuk menjadi blok maka bagian tengahnya diberi lubang dan diberi pipa kecil. Setelah itu, dikeringkan sejenak dan dimasukkan ke dalam oven.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan praktikum yang dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut :
Gambar 1. Urea Molases Block
LABORATORIUM INDUSTRI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
Sumber : Data Primer Praktikum Indutri Pakan, 2008.
Dari gambar di atas, terlihat gambar UMB yang telah dicetak dimana bahan-bahannya terdiri dari urea, molases, kapur, mineral sapi, garam, dedak padi, jagung, semen, dan air. UMB sangat penting bagi ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba. Hal ini sesuai dengan pendapat Bonga (2007) bahwa UMB terdiri dari beberapa bahan yaitu :
1. Molasis (tetes tebu atau gula jawa)
2. Onggok (limbah dari pabrik tapioka)
3. Dedak (halus atau kasar), lebih baik yang banyak menirnya
4. Tepung kedelai (kedelai giling)
5. Tepung daun singkong kering
6. Polard (dedak gandum)
7. Tepung tulang
8. Laktat mineral (mineral untuk ternak)
9. Kapur (injet)
10. Garam dapur
11. Pupuk urea atau ZA
12. Bungkil biji kapuk
13. Bungkil biji kedelai
14. Bungkil kelapa
Dari bahan-bahan tersebut merupakan sumber-sumber nutrient yang dibutuhkan oleh ternak khususnya ternak ruminansia. Akan tetapi, dalam praktikum yang kami lakukan hanya menggunakan beberapa dari bahan-bahan yang disebutkan di atas. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan bahan. Pembuatan UMB terdiri dari dingin. Pembuatan UMB dimulai dari pencampuran bahan, penga-dukan, pemanasan, percetakan sampai pengemasan. Rangkaian proses pembuatan UMB tergantung pada formula yang dipergunakan dan tujuan pemeliharaan ternak. Namun, secara garis besar proses pembuatan UMB dapat dibedakan menjadi tiga cara, yaitu secara dingin, hangat dan panas. Untuk itu, pada setiap formula diatas rekomendasi cara pembuatannya harus digunakan; akan tetapi pada kesempatan tersebut hanya diperkenalkan pembuatan secara panas. Berikut ini cara pembuatan UMB secara umum :
Bahan di timbang sesuai dengan komposisi yang diinginkan. Bahan yang berbentuk padat atau kering dicampur, dimulai dari yang jumlahnya paling sedikit, lalu ditambahkan ke bahan yang lebih besar sambil diaduk sampai rata. Setelah itu ditambahkan bahan yang cair sedikit demi sedikit sambil diaduk sehingga tidak terjadi gumpalan-gumpalan. Semua campuran tadi dipanaskan sambil terus diaduk sampai merata panasnya, lamanya pemanasan tergantung pada cara yang dipilih. Untuk cara dingin tidak dipanaskan, cara hangat dipa-naskan 3 – 4 menit dengan suhu tidak lebih dari 40 0C, sedangkan secara panas dipanaskan 20 menit dengan suhu 100-120 0C. Adonan UMB didinginkan dengan meletakan adonan pada suhu kamar. Hasil cetakan dikemas dengan plastik bening untuk memudahkan pengontrolan kualitas (mutu) UMB yang dihasilkan.
UMB sering juga disebut dengan pakan pemacu merupakan jenis pakan yang berperan sebagai pemacu pertumbuhan dan peningkatan populasi mikroba da dalam rumen. Hal ini disebabkan oleh salah satu bahan di dalam komposisi UMB merupakan bahan yang dapat membantu dalam pertumbuhan mikroorganisme rumen. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kartadisastra (1997) bahwa pakan pemacu dapat merangsang ternak ruminansia (sebagai induk semang) menambah jumlah konsumsi serat kasar sehingga akan meningkatkan produksi.
Pemberian UMB dapat diberikan tiap hari, hal ini sesuai dengan pendapat Yusuf (2008) yang menyatakan bahwa UMB diberikan dengan cara diletakan di tabung bambu atau dikotak pakan. Pakan suplemen ini diberikan pada pagi hari, jumlah-nya disesuaikan dengan tingkat konsumsi yang dianjurkan pada setiap jenis ternak. Untuk ternak besar (sapi dan kerbau) mencapai 350 gram/ekor/hari; kambing dan domba sebesar 120 gram/ekor/hari dan dapat bertahan selama 3-6 bulan.
Gambar 2. Urea Mineral Lick Block
LABORATORIUM INDUSTRI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
Sumber : Data Primer Praktikum Industri Pakan, 2008.
Ternak ruminansia dalam berproduksi utamanya susu membutuhkan mineral yang sangat tinggi sehingga mineral mutlak ada di dalam tubuh ternak, seperti calcium dan phosphor. Hal ini sesuai dengan pendapat Murti (2002) bahwa Mineral Ca dan P merupakan mineral yang dibutuhkan oleh sapi perah. Untuk kegiatan produksi, Ca dan P bersumber pada pakan ternak yang diberikan ataupun penambahan secara khusus. Rendahnya unsur Ca dan P dalam pakan akan menyebabkan berkurangnya hasil susu. Di samping itu, jika unsur Ca rendah akan menyebabkan Ca dalam tulang terpakai. Selain itu, Na dan Cl cukup penting bagi ternayaitu bagi pencernaan pakan untuk tujuan menghasilkan susu dan secara normal susu mengandung bermacam garam yang sangat penting bagi untuk menaikkan nafsu makan.
Sesuai dengan praktikum ini, telah dibuat pakan supplement bagi ternak ruminansia (Gambar 2.) yaitu UMLB (Urea Mineral Lick Block). Bahan yang digunakan dalam pembuatannya sama dengan UMB kecuali, tidak menggunakan bahan sumber energi yaitu molases sehinnga tujuan utama dalam pembuatan UMLB menitik beratkan pada penggunaan mineral.
Di Indonesia, kandungan mineral hijauan sangat rendah sehingga dengan pemberian UMLB dapat memberikan asupan mineral bagi tubuh ternak, hal ini sesuai dengan pendapat Devandra (1994) bahwa di daerah tropis, seringkali terjadi kekurangan mineral dalam ransum, karena banyak hijauan daerah tropis kandungan mineralnya rendah, khususnya kalsium dan phosphor.
Gambar 3. Coming Block
LABORATORIUM INDUSTRI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
Sumber : Data Primer Praktikum Industri Pakan, 2008.
Dari hasil di atas, menunjukkan gambar Coming Block, dimana prinsip kerja pakan suplemen tersebut hampir sama dengan prinsip kerja dari pembuatan UMB, tetapi di dalam pembuatan CB, tidak menggunakan urea sehingga UMB dapat dikonsumsi juga oleh ternak non ruminansia. Urea merupakan NPN (non protein nitrogen) hanya dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia karena NPN dapat dirubah menjadi NH3, kemudian nitrogen dari NH3 diikat dan dirubah menjadi asam amino. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2007) bahwa NPN dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia sebagai sumber protein. Dan menurut Santosa (2006) bahwa urea hanya untuk ruminansia. Namun, bila hijauan pakannya mengandung energy sangat rendah maka ternak jangan diberi urea. Tujuan pemberian urea adalah untuk meningkatkan protein kasar di dalam ransum.
Jadi, CB (Coming Block) aman dikonsumsi oleh ternak non ruminansia karena tidak mengandung urea. Ternak non ruminansia tidak mampu mengubah urea menjadi protein karena tidak mempunyai rumen, selain itu populasi mikroorganisme di dalam lambung ternak non ruminansia yang membantu dalam mencerna serat kasar dan NPN.

KESIMPULAN
Dari hasil praktikum mengenai pembuatan UMB, UMLB, dan CB dapat disimpulkan bahwa supplement bagi ternak ruminansia maupun ternak non ruminansia sangat penting, sehingga mahasiswa peternakan perlu mengetahui cara pembuatan pakan suplemen tersebut sehingga dapat diterapkan di masyarakat untuk membangun sub sektor peternakan di Sulawesi Selatan.

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada kakak asisten (El-Vira), dan teman-teman Regulasi 05 terkhusus Emil Chandra Saputra yang membantu dalam dokumentasi praktikum ini. 

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Bahan Ajar Nutrisi Ruminansia. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Bonga, S.M.D. 2007. Urea Molasis Block Pakan Suplemen (Permen Jilat Ternak) Ternak Ruminansia. Insidewinme.
Devendra, C. and Burns. 1994. Produksi Kambing Di Daerah Tropis. Penerbit ITB, Bandung.
Kartadisastra, 1997. Penyediaan Dan Pengolahan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius, Yogyakarta.
Murti, W.T. 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Kanisius, Yogyakarta.
Santosa, Undang. 2006. Manajemen Usaha Ternak Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.
Yusuf, Didik. 2008. UMB (Urea Molasses Block) Permen Jilat Ternak. Blog-nya Peternak Indonesia, (http ://insidewinme.Blogspot.com)

Rabu, 08 Oktober 2008

Force Moulting

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan saat ini merupakan sub sektor yang dapat diandalkan dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat pada umumnya. Budidaya ternak unggas tercatat sejak tahun 1000 SM di India, terdiri dari 14.000 spesies unggas yang ada, semuanya digolongkan ke dalam 25 ordo (Amrullah, 2004). Tetapi unggas yang besar peranannya di dalam kehidupan manusia adalah bangsa ayam, sehingga ayam terus dikembangkan sampai saat ini dan menjadi industri yang berkembang pesat. Perlu diketahui bahwa ayam memilki potensi yang besar di dalam pemenuhan gizi masyarakat khususnya sebagai sumber protein hewani yang mudah didapatkan dan terjangkau seperti telur dan daging ayam.

Industri peternakan unggas saat ini berkembang pesat khusunya industri peternakan layer (ayam petelur) karena merupakan kebutuhan manusia secara terus menerus sehingga industri ini sangat menjanjikan, akan tetapi hal yang menjadi kendala di dalam suatu usaha peternakan adalah pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi ternak dan produksi yang dihasilkan ternak tersebut sehingga peternak bisa mendapatkan keuntungan yang lebih dengan memperpanjang masa produksi sehingga biaya produksi serta menerapkan sistem pemeliharaan yang baik seperti force moulting (gugur bulu paksa).

Force moulting merupakan suatu metode dalam peternakan komersial, dimana ayam petelur dipaksa mengugurkan bulunya pada fase arkir selama dua bulan agar produksi kembali terjadi dan meningkat. Oleh karena itu, metode ini sangat tepat diterapkan oleh para peternak bila ingin memperpanjang masa produksi telur, hal tersebut disebabkan oleh ketidak mampuan para peternak untuk membeli DOC atau ayam remaja(pullet).

Rumusan Masalah

Meningkatnya harga ayam petelur remaja pullet, mengakibatkan peternak tidak mampu mengisi kandang yang kosong akibat sebelumnya ayam telah diafkir sehingga para peternak cenderung untuk mengosongkan kandangnya dan berusaha mencari tambahan modal untuk mengisi kandang tersebut.

PEMBAHASAN

Gambaran Umum Force Moulting

Ayam petelur mulai berproduksi sekitar umur 22-24 minggu dan produksinya akan terus meningkat serta mencapai puncaknya pada umur 34-36 minggu. Setelah itu, produksinya akan terus menurun sesuai dengan bertambahnya umur dan pada umur sekitar 18 bulan (72 minggu) secara alami ayam akan mengalami proses ganti bulu yang lazim disebut moulting (Kartasudjana, 2006). Akibatnya, setalah terjadi proses alamiah tersebut maka produksi akan turun dan terhenti sehingga peternak tidak akan mendapatkan telur (keuntungan), tetapi setelah terjadi proses tersebut maka ayam akan kembali berproduksi lagi (tidak maksiamal). Untuk menjaga kesinambungan ayam, maka harus diganti dengan ayam dara (pullet), akan tetapi harga ayam dara dari hari ke hari semakin meningkat sehingga proses gugur bulu tersebut dapat dipersingkat selama sekitar 2 bulan, dengan menerapkan proses gugur bulu paksa (force moulting), maka setelah itu, produksi akan meningkat dengan presentase tinggi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mulyono (2004) bahwa secara normal rontok bulu terjadi setelah ayam berumur lebih dari 80 minggu. Pada umur ini merupakan saat yang tepat bagi ayam untuk diapkir. Proses perontokan bulu biasanya terjadi selama 2-4 minggu.

Force moulting adalah usaha merontokkan bulu unggas sebelum masa waktunya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan masa peneluran kedua yang serasi. Selama masa meranggas (moulting) berat badan layer akan berkurang sekitar 400-600 gram yaitu dengan cara mengatur makanannya. Banyak metode yang dilakukan dalam memberikan pakan kepada ayam yang sedang moulting, umumnya yaitu selama 6 minggu diberikan makanan dengan kadar protein rendah tetapi ditambah trace mineral dan vitamin, sesudah 6 minggu diberikan makanan yang normal dan unggas akan berproduksi secara normal selama 4 minggu berikutnya (Anonim, 2008).

Menurut Kartasudjana (2006) bahwa hal-hal yang menjadi pertimbangan perlu tidaknya dilakukan force moulting untuk menjaga performa pada siklus produksi tahun kedua yaitu :

a. Biaya produksi, biaya pada pelaksanaan force moulting lebih murah dari pada biaya untuk membesarkan doc, sehingga pelaksanaan force moulting lebih baik.

b. Angka kematian, angka kematinan pada siklus pada produksi kedua lebih rendah dari pada siklus produksi tahun pertama.

c. Konsumsi ransum, konsumsi ransum pada siklus produksi tahun pertama lebih tinggi dari pada tahun kedua.

d. Masa berproduksi, masa produksi pada tahun pertama lebih lama dibandingkan dengansiklus produksi kedua.

e. Produksi telur, puncak produksi tahun kedua 7-10 % lebih rendah dari tahun pertama dan terus menurun secara perlahan setelah mencapai puncak produksi.

f. Kualitas kulit telur, kualitas telur pada siklus kedua lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun pertama.

g. Berat telur, berat telur pada tahun kedua lebih tinggi dari pada tahun pertama.

h. Kualitas interior

Metode Force Moulting

Menurut Anonim (2008) bahwa pada prinsipnya metode yang dipakai adalah dengan memberikan stress treatment atau drug treatment yang pada pokoknya adalah dengan pemuasaan dan pembatasan air minum, pemuasaan dan pembatasan makanan dan juga pembatasan sinar. Ada040metode0force0moulting0:
1. Metode Convensional

  • Hari ke-1 dan ke-2, ayam sama sekali tidak diberi makan dan minum, sinar diberikan 8 jam/hari (penyinaran alam).
  • Hari ke-3, diberi makanan 50% dari total kebutuhan dan sinar diberikan 8 jam/hari.
  • Hari ke-4, ayam dipuasakan sama sekali.
  • Hari ke-5, perlakuan sama dengan hari ke-3.
  • Hari ke-6, perlakuan sama dengan hari ke-4
  • Hari ke-7, perlakuan sama dengan hari ke-3.
  • Hari ke-8, perlakuan sama dengan hari ke-4.
  • Hari ke-9, perlakuan sama dengan hari ke-4, dan air minum diberikan minum secara bebas (ad libitum).
  • Hari ke-10 sampai hari ke-60, diberi makanan 75% dari kebutuhan dan minum minum diberikan secara ad libitum.
  • Hari ke-61 dan seterusnya, makanan dan minum diberikan secara penuh, pemberian sinar 14-16 jam/hari.
  • Biasanya 2 minggu kemudian ayam sudah berproduksi secara normal.

2.0Metode0Milo0(California0Program)
Inti dari metode ini adalah dengan pemberian milo/gandum, atau jagung saja dalam waktu yang sangat lama. Metode ini cocok diterapkan untuk daerah beriklim tropis. Adapun caranya adalah sebagai berikut :

  • Hari ke-1 sampai ke-35, ayam diberi makanan secara penuh sesuai dengan kebutuhan, hanya saja penyinaran secara alam dibatasi.
  • Hari ke-36 sampai ke-45, ayam dipuasakan sama sekali dan sinar diberikan 8 jam/hari.
  • Hari ke-46 sampai ke-60 diberikan makanan hanya berupa gandum atau jagung sebanyak-banyaknya dan sinar tetap 8 jam/hari.
  • Hari ke-61 sampai 68 ayam kembali diberikan makanan secara penuh, air diberikan secara ad libitum, dan sinar diberikan 14-16 jam/hari.
  • Biasanya 2 minggu kemudian ayam sudah berproduksi seperti biasa.

3.0Metode0Macxindoe
Merupakan kombinasi dari kedua metode di atas, hanya saja dilakukan pembatasan air minum, makanan dan daun lamtoro. Adapun cara metode ini adalah sebagai beriukut :

  • Hari ke-1 dan ke-2, ayam dipuasakan sama sekali.
  • Hari ke-3, ayam diberi air minum saja.
  • Hari ke-4 sampai ke-6 , ayam kembali dipuasakan.
  • Hari ke-7 sampai ke-10, perlakuan sama dengan hari ke-3.
  • Hari ke-11 sampai ke-25, ayam diberikan minum secara ad libitum dan makanan diberikan 50% dari kebutuhan dan dicampur dengan daun lamtoro 20%.
  • Hari ke-26 dan seterusnya, ayam diberikan makanan secara penuh dan air minum diberikan secara ad libitum.
  • Setelah 6 minggu ayam akan berproduksi secara normal kembali.

4. Metode Washington

  • Hari ke-1, ayam diberikan makan dan minum seperti biasa.
  • Hari ke-2 sampai ke-3, ayam dipuasakan dari makan dan minum.
  • Hari ke-4, dipuasakan tetapi diberikan minum saja.
  • Hari ke-5 sampai ke-49, ayam diberikan makanan 2,7 kg per 100 ekor layer, air minum tetap diberikan.
  • Hari ke-50, diberikan makan dan minum secara penuh dan pemberian cahaya 14-16 jam/hari.

Proses Moulting

Proses moulting yang terjadi pada ayam petelur melibatkan hormon-hormon seperti prolaktin, dimana prolaktin berfungsi sebagai penghambat sekresi hormon FSH dan LH. Akibatnya proses pembentukan telur terhenti dan terjadilah proses moulting (Gambar 1.).

Gambar 1. Skema kontrol Hormonal Proses Moulting

Menurut Suprijatna (2005) bahwa proses meluruh mengikuti suatu pola atau aturan tertentu. Hal ini adalah aturan yang menawarkan suatu petunjuk jumlah telur yang diproduksi oleh induk sebelum menghentikan produksi telur dan meluruh dimulai. Adapun proses tersebut adalah sebagai berikut ;

1. Body moult, adalah bulu rontok dari berbagai tubuh dengan urutan ; kepala, leher, dada, punggung, bulu kapas (fluff), abdomen (perut), sayap, dan terakhir ekor.

2. Wing moult, apabila sayap burung (ayam) dilebarkan, tiga kelompok bulu sayap akan terlihat, dan akan meluruh dari bulu primer, sekunder, dan aksial.

Keuntungan dan Kerugian Force Moulting

Keuntungan dari program force moulting adalah biaya pemeliharaan lebih murah dari pada membeli ayam pengganti (DOC, pullet), ayam setelah mengalami force moulting lebih resisten terhadap penyakit, dan biaya pembelian pullet dapat dialihkan dengan menabung uang serta tidak menyita waktu yang banyak. Sedangkan kerugian dari program force moulting adalah selama proses moulting terjadi ayam terus makan dan tidak berproduksi, bila ayam disembelih setelah dua tahun bertelur tidak empuk (Ellis M.R., 2007).

PENUTUP

Kesimpulan

Pada pemeliharaan ayam petelur perlu dilaksanakan program force moulting, untuk mengurangi biaya dalam membeli ayam dara (DOC atau Pullet). Karena program force moulting lebih murah dibandingkan dengan pembelian ayam dara. Selain itu, force moulting memiliki keuntungan-keuntungan bagi peternak diantaranya adalah ayam setelah mengalami force moulting lebih resisten terhadap penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, I.K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler Cet II. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor.

Anonim, 2008. Rontok Bulu Buatan (Force Moulting). www. sentralternak.com (diakses 24 September 2008).

Ellis M.R. 2007. Moulting - A Natural Process. Poultry Branch, Agriculture Western Australia. PoultrySite.com (diakses 24 September 2008).

Kartasudjana, R dan Suprijatna E. 2006. Manajmen Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.

Mulyono S. 2004. Memelihara Ayam Buras Berorientasi Agribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta.

Suprijatna E., Atmomarsono U, dan Kartasudjana R. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.