Selamat Datang di Blog Abdul Alim Yamin

Kamis, 03 Juli 2014



UJIAN AKHIR SEMESTER 2013/2014
M. K. NUTRISI TERNAK DASAR
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR

 

1.   Jelaskan yang dimaksud dengan : (bobot 20)
a. Konsumsi
c. Absorbsi
b. Digestibility
d. Metablisme
2.   Hitunglah kecernaan bahan kering (BK) suatu rumput gajah, jika seekor sapi mengkonsumsi rumput segar sebesar 15 kg/hari, sedangkan feses yang diekskresikan sebesar 12 kg/hari (BK rumput gajah sebesar 10.2% dan BK feses 20%). (bobot 30)
3.   Jelaskan proses glikolisis dan proses terbentuknya ATP ! (bobot 20)
4. Jelaskan dari mana otot rangka memperoleh karbohidratnya untuk proses glikolisis ! (bobot 10)
      5. Jelaskan menurut anda proses metabolisme yang terjadi ketika anda sedang berpuasa ! (bobot 20)

Selamat Bekerja

          NB :
          Jawaban yang sama, mirip, atau hasil editan tidak akan diberi nilai

Rabu, 13 April 2011

Penggunaan Probiotik dan Prebiotik Pada Ternak

PENDAHULUAN
Populasi penduduk Indonesia saat ini berkembang sangat pesat, sehingga mengakibatkan peningkatan kebutuhan pangan. Akibatnya industri pertanian dituntut untuk berproduksi secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal tersebut juga dirasakan oleh industri subsektor peternakan khususnya industri unggas. Peternakan broiler dan layer saat ini meningkat dari tahun ke tahun, baik yang dikelolah oleh swasta (perusahaan kemitraan) maupun, sehingga adopsi teknologi di bidang peternakan sangat dibutuhkan untuk mendukung produksi yang maksimal dan berkelanjutan, dengan memperhatikan keamanan produk yang dihasilkan.

Penggunaan bahan aditif dalam pakan ternak sejak dahulu telah dilakukan untuk merangsang pertumbuhan dan mencegah penyakit. Menurut Budiansyah (2004), Pemberian feed aditive tersebut dilakukan untuk memperbaiki performance atau penampilan produksi dari ternak unggas, berbagai macam jenis feed aditive yang telah digunakan sejak dahulu antara lain adalah obat-obatan, antibiotika atau hormon-hormon pertumbuhan.

Penggunaan antibiotik atau antimikrobial sebagai bahan aditif dalam pakan ternak telah berlangsung lebih dari 40 tahun silam. Senyawa antibiotik tersebut digunakan sebagai growth promotor dalam jumlah yang relatif kecil namun dapat meningkatkan efisiensi pakan (feed efficiency) dan reproduksi ternak sehingga dengan penggunaan bahan aditif tersebut peternak dapat memperoleh keuntungan lebih. Awal tahun 2006 penggunaan antibiotik dilarang oleh Uni Eropa sebagai pencegah penyakit (disease prophylactic) atau dikenal pemicu pertumbuhan (Antimicrobial Growth Promoters) di dalam pakan ternak (Ahmad, 2006; Ghiyasi et. al., 2007).

Beberapa bahan alternatif yang dapat mengganti fungsi dari antibiotik dalam pakan adalah probiotik dan proebiotik. Prebiotik didefiniskan sebagai bahan pakan yang tidak tercerna dan memberikan pengaruh positif pada inang (host), dengan memacu pertumbuhan atau aktivitas bakteri di dalam colon (Choudhari et. al., 2008). Adanya prebiotik yang diberikan melalui pakan, sehingga bakteri yang menguntungkan (apatogen) dalam saluran cerna dapat meningkat dalam menekan bakteri patogen.
Makalah ini dibuat untuk memahami pengertian dan penggunaan prebiotik maupun probiotik dalam pakan untuk ternak monogastrik dan penggunaan probiotik pada ternak ruminansia serta diharapakan dapat memberikan informasi tentang prebiotik dan probiotik. Khususnya pengaruh penggunaannya terhadap produksi dan performance ternak serta mekanisme kerjanya dalam tubuh ternak. Adanya informasi tersebut, penggunaan probiotik dan pre dalam pakan dapat menjadi bahan aditif alternatif yang mampu menggantikan fungsi antibiotik atau pemacu pertumbuhan lainnya yang memiliki efek negatif terhadap ternak dan manusia (yang mengkonsumsi produk peternakan) selama ini.

DEFINISI PROBIOTIK DAN PREBIOTIK

Probiotik dalam bahasa Yunani berarti “Kehidupan”, menurut istilah yang didefinisikan oleh Gibson dan Fuller (2000), probiotik adalah suplemen pakan dari bakteri hidup yang memberikan keuntungan terhadap ternak dengan meningkatkan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan. Sedangkan menurut Hasan (2006), probiotik kultur tunggal ataupun campuran dari mikrobia hidup yang dikonsumsi manusia dan/atau hewan, dan memiliki efek menguntungkan bagi inangnya (manusia maupun hewan) dengan cara menjaga keseimbangan mikroflora alami yang ada dalam tubuh. Mikroorganisme yang digunakan sebagai probiotik dalam nutrisi ternak yaitu mikroorganisme hidup, ketika diadministrasikan mulut dan sepanjang alat pencernaan dapat memberikan efek positif terhadap kesehatan inangnya. Probiotik merupakan salah satu pendekatan yang memiliki potensi dalam mengurangi infeksi unggas dan kontaminasi produk unggas (Ahmad, 2006). Mikroorganisme yang bisa dimanfaatkan sebagai probiotik adalah bakteri (Bakteri Asam Laktat, Genus Lactobacillus dan Genus Bifidobacteria) dan fungi (Saccharomyces cerevisiae) (Trachoo dan Boudreaux, 2006).

Prebiotik didefinisikan sebagai bahan pakan yang tidak tercerna yang dapat merangsang pertumbuhan dan aktivitas sejumlah bakteri tertentu dalam saluran pencernaan dan meningkatkan kesehatan inang (host) (Gibson and Roberfroid, 1995; Choudhari et. al., 2008). Prebiotik yang diberikan atau yang dikonsumsi oleh ayam tidak dicerna pada saluran pencernaan bagaian depan (proventrikulus, ventrikulus, dan usus halus), tetapi bahan makanan tersebut ke bagian alat pencernaan bagian belakang yaitu pada usus besar dan usus buntu, di mana di bagaian ini terdapat populasi bakteri yang dapat memanfaatkan sumber pakan tak tercerna (serat kasar) dengan proses fermantasi.

Berbagai macam bahan pakan, karbohidrat tidak tercerna (non-digestible carbohydrate) yaitu oligo dan polysakarida, beberapa peptida dan protein. Senyawa-senyawa ini tidak terhidrolisa oleh enzim serta tidak diserap di bagian saluran pencernaan bagian atas, yang dikenal istilah colonic food (pakan kolon). Misalnya pakan masuk ke kolon dan memberikan subtrat untuk bakteri kolon, yang secara tidak langsung menyediakan energi, subtrat metabolik dan mikro nutrient bagi inang. (Sinovec and R. Markovic, 2005).

MEKANISME KERJA DAN INTERAKSI PREBIOTIK DAN PROBIOTIK

Adapun mekanisme kerja probiotik jika diberikan pada ayam akan berkolonisasi di dalam usus, dan selanjutnya dapat dimodifikasi untuk sistem imunisasi/kekebalan hewan inang. Kemampuan menempel yang kuat pada sel-sel usus ini akan menyebabkan mikroba-mikroba probiotika berkembang dengan baik dan mikroba-mikroba patogen terreduksi dari sel-sel usus hewan inang, sehingga perkembangan organisme-organisme patogen yang menyebabkan penyakit tersebut, seperti Eshericia coli, Salmonella thyphimurium dalam saluran pencernaan akan mengalami hambatan. Mikroba probiotika menghambat organisme patogenik dengan berkompetisi untuk mendapatkan sejumlah terbatas substrat bahan makanan untuk difermentasi.
Bifdobacteria dan kultur probiotik lainnya yang berkontribusi terhadap kesehatan manusia dan ternak melalui mekanisme seperti kompetisi dengan bakteri patogen, menstimulasi sistem imun, meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek, mengontrol fungsi usus, mencegah kanker dan meningkatkan pencernaan dan penyerapan zat-zat nutrisi (Ziggers, 2000; Jung, et.al., 2008).

Oligosakarida ditemukan sebagai komponen terbesar dari beberapa produk-produk alami seperti ekstrak tanaman dan susu (mamalia), baik dalam bentuk bebas maupun terikat. Pada ternak monogastrik, beberapa oligosakarida dicerna di usus bagian atas oleh enzim. Namun, olisakarida tertentu seperti, galacto-oligosakarida dan mannan-oligosakarida, keduanya memiliki struktur kimia yang unik serta tahan terhadap enzim pencernaan dan transit pada usus besar tanpa mengalami perubahan (struktur) (Jung, et.al., 2008). Kehadiran dari oligosakarida di dalam usus besar langsung dimanfaatkan oleh mikroba yang menguntungkan sebagai subtrat untuk mendukung kehidupan dan aktivitasnya.

Selain oligosakarida, inulin dan oligofructose merupakan prebiotik dasar dan keduanya terjadi secara alami di dalam tanaman. Inulin biasanya terdapat pada akar, sedangkan oligofructose adalah bagian dari inulin setelah dihidrolisis secara enzimatik (Chen et. al., 2005). Menurut berbagai sumber bahwa keberhasilan penggunaan prebiotik dapat ditinjau dari karakter prebiotik yang digunakan yaitu :
• Tidak dapat dihidrolisis oleh enzim dan tidak diserap (Sinovec and R. Markovic, 2005)
• Memperkaya bakteri yang menguntungkan (apatogen)
• Memberikan keuntungan bagi mikro flora usus dan membantu aktivitasnya
• Menurunkan populasi bakteri patogen (Donalson, et. al., 2008)
• Meningkatkan imunitas tubuh secara tidak langsung (Choudhari et. al., 2008)
• Membantu meningkatkan dan memperbaiki morpologi saluran cerna dengan meningkatkan area permukaan dalam proses penyerapan dan memperbaiki struktur mikrovili (Dimitroglou, et. al., 2009).

Sumber lain menyebutkan bahwa prebiotik dapat memblokir kolonisasi bakteri patogen dengan cara mengikat bakteri patogen dalam usus dan dibuang melalui feses, tetapi hal tersebut belum didukung oleh fakta secara ilmiah. Selain berfungsi sebagai subtrat bagi kehidupan bakteri di dalam saluran cerna, prebiotik yang telah dikaji diantaranya dapat merangsang absorpsi beberapa mineral untuk pembentukan tulang dengan meningkatkan ketersediaan dari Ca, Mg, Zn dan Iron. Pengaruh prebiotik tergantung dari dosis, waktu pemberian, dan kandungan kalsium di dalam pakan serta umur ternak (Choudhari et. al., 2008).

PENGARUH PROBIOTIK DAN PREBIOTIK TERHADAP UNGGAS

Penggunaan pro dan prebiotik merupakan hal yang terus digalakkan dalam dunia peternakan, untuk meningkatkan keamanan pangan khususnya produk-produk peternakan. Fungsi zat aditif ini tidak jauh berbeda dengan antibiotik yaitu mengatur komposisi mikroflora dalam saluran pencernaan. Bakteri asam laktat seperti Lactobacillus bulgaricus, Lactobacilus acidophilus, Bifidobacteria thermophilum dan jenis fungi seperti Saccharomyces cerevisiae adalah contoh-contoh probiotik yang telah diproduksi secara komersial. Lingkungan menyenangkan untuk pertumbuhan bakteri menguntungkan (penurunan pH dengan memproduksi asam laktat) akan tercipta dengan mensuplai probiotik pada ransum ternak. Probiotik juga dapat mengurangi produksi racun dan menurunkan produksi amonium dalam saluran pencernaan. Prebiotik adalah oligosakarida yang tidak dapat dicerna oleh hewan monogastrik (ayam dan babi).

Senyawa ini digunakan sebagai substrat untuk merangsang pertumbuhan bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli. Pemberian 0,1 – 0,5% dalam ransum dapat meningkatkan bakteri yang menguntungkan dan menurunkan populasi bakteri yang merugikan.

Kombinasi prebiotik dan probiotik diketahui saling menguntungkan atau bersimbiosis dalam tubuh ayam (Patterson and Burkholder, 2003). Penambahan Oligofruktosa juga signifikan menurunkan Salmonella Enteritidis di usus buntu (Donalson, et. al., 2008). Penurunan bakteri Salmonella Enteritidis dalam saluran cerna dapat mengurangi penyakit gastro enteritis pada unggas, selain itu penurunan bakteri patogen dapat meningkatkan efisiensi pakan.

Hasil penelitian Ghiyas et. al. (2007), menyatakan penambahan prebiotik dalam ransum broiler dibandingkan dengan ransum yang mengandung 90 % rekomandasi protein NRC memiliki pengaruh yang sama terhadap performance broiler, sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan prebiotik dapat meningkatkan kecernaan dan penyerapan zat-zat nutrien dalam pakan. Ayam petelur jenis White Leghorn pada umur 57 minggu diberikan 1.0% oligofructose dan 1.0% selama empat minggu, maka diperoleh peningkatan produksi telur sebesar 13.35% (oligofruktosa) dan 10.73% (inulin). Selain itu, peningkatan berat telur secara kumulatif sebesar 12.50% (oligofruktosa) dan 10.96% (inulin) (Chen, et. al., 2005). Hasil penelitian Hassanein and Soliman, (2010), bahwa penambahan ragi hidup (Saccharomyces cervisiae) dapat meningkatkan produksi pada ayam petelur (Tabel 1.) dan pemanfaatan nutrien melalui efek hambatan oleh ragi pada bakteri patogen yang dapat menyebabkan enteritis dan mal-absorbsi nutrien.

Tabel 1. Pengaruh pemberian ragi pada level yang berbeda terhadap performance produksi telur dan komponen telur.
                                    Sumber : Hassanein and Soliman, (2010).

Hasil penelitian GÜÇLÜ (2010), menyatakan bahwa suplementasi probiotik (Lactobacillus sp.) dan prebiotik (MOS) pada ransum cenderung berpengaruh positif fertilitas telur dan daya tetas telur puyuh bibit, sehingga probitik dan prebiotik juga dapat diterapkan bagi parent stock pada breeding farm untuk menghasil telur dan d.o.c. yang baik.

Tabel 2. Pengaruh ransum yang disuplementasi dengan probiotik dan prebiotik (MOS) terhadap daya tetas dan fertilitas telur.
                                  Sumber : GÜÇLÜ (2010).

Selain itu, probiotik juga dapat meningkatkan antibodi alami pada ayam. Hasil penelitian Haghighi, et. al., (2006) dan Panda, et. al., (2008), pemberian probiotik juga meningkatkan serum dan antibodi alami dalam usus seperti IgA, IgM, dan IgG terhadap beberapa antigen asing. Berdasarkan penemuan terhadap beberapa spesies bahwa antibodi alami penting dalam mencegah bakteri patogen. Dengan demikian pemberian probiotik dan prebiotik dalam ransum broiler maupun layer memberikan nilai positif terhadap karakteristik produksi.

PENGARUH PROBIOTIK TERHADAP TERNAK RUMINANSIA

Penggunaan probiotik pada unggas memberikan efek positif terhadap produktivitas dan memperbaiki status kesehatan unggas. Hal tersebut juga terjadi pada ternak ruminansia, pemberian probiotik terhadap ruminansia memberikan dampak positif dan pernyataan tersebut didukung oleh beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan pemanfaatan probiotik sebagai feed additive dalam air maupun pakan. Probiotik yang ditambahkan sebanyak 10 ml pada susu (pemerahan di pagi hari) pada pedet yang baru lahir menurunkan 40 % kasus diare (Aldana, et. al., 2009) sehingga probiotik (Lactobacillus sp.) dapat memperbaiki status kesehatan pedet dan menurunkan biaya pengobatan akibat diare dan penyakit lainnya (Gorgulu, et. al., 2003).


Gambar 1. Pengaruh pemberian lactosa (L0 = 0 %, L1= 1 %, dan L3= 3 %) pada pedet yang disuplementasi Probiotik.


Gambar 2. Suplementasi Enterococcus faecium M74 pada susu terhadap kejadian diare pada pedet.

Hasil penelitian Jatkauskas dan Vrotniakiene (2010) melaporkan bahwa pedet yang ditambahkan Enterococcus faecium M74 dalam ransumnya dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian dibandingakan dengan pedet yang tidak diberikan. Selain itu, Enterococcus faecium M74 juga dapat meningkatkan konsumsi hijauan dan total konsumsi bahan kering, serta meningkatkan 12.9% konversi pakan selama 56 hari percobaan dan pakan yang mengandung Enterococcus faecium M74 (Gambar 2.) mempengaruhi persentase pedet yang terkena penyakit diaere. Persentase pedet yang diare menurun dari 50 % sampai dengan 20 % dengan pemberian Enterococcus faecium M74 selama lebih dari dua hari. Sedangkan suplementasi laktose pada pedet yang diberikan Enterococcus faecium memiliki efek immunomodulatory terhadap kandungan limfosit (Gambar 1.) dan komposisi Cell-T dalam pembagian sistem imun. (Fleige, et. al., 2009). Aktivitas Saccharomyces cerevisiae juga dapat menstimulasi jumlah bakteri anaerob di dalam rumen dengan menghilangkan oksien dari cairan rumen (Auclair, 2009). Pendapat lain oleh Chiquette (2009), menyimpulkan bahwa penggunaan ragi hidup sebagai probiotik dapat meningkatkan populasi bakteri selulitik dalam rumen, menjaga kestabilan pH rumen, meningkatkan degradasi serat di rumen, mengurangi bakteri patogen, meningkatkan produksi susu dan meningkatkan total bakteri. Selanjutnya, penggunaan strain kembar Saccharomyces cerevisiae hidup yang dicampur dengan mikroorganisme rumen dan difermentasi dengan secara in vitro dapat menurunkan laktat, sedikit metan dan hidrogen dengan pemberian hay dan konsentrat (Lila, et. al., 2004).

Giger-Reverdin et. al., (1996), juga melaporkan suplementasi ragi hidup sebagai probiotik juga dapat membantu meningkatkan produksi asam lemak susu pada kambing perah, sehingga probiotik dapat memperbaiki kualitas produk ternak. Sedangkan penggunaan EM (effective microorganisms) dalam pada air minum pada level 2 % memberikan efek yang menguntungkan terhadap kecernaan dinding sel tanaman (ADF dan NDF) sehingga pemanfaatan pakan yang berserat yang tinggi dapat dilakukan (Syomiti, et. al., 2010). Beberapa hasil penelitian mengungkapkan kelebihan-kelebihan dari penggunaan probiotik pada ternak ruminansia khususnya preruminan, sehingga perlu diterapkan pada peternakan untuk meningkatkan produksi dan keuntungan.

KESIMPULAN

Berdasarkan dari gagasan di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan probiotik dan prebiotik dalam industri peternakan akan memberikan informasi baru yang dapat diaplikasikan secara langsung dan berkesinambungan untuk memperbaiki produksi dan status kesehatan ternak.

DAFTAR PUSTAKA
Ahamad, I., 2006. Effect of Probiotic on broilers performance. International Journal of  Poultry Science 5 (6): 593-597.

Aldana, C. S. Cabra, C. A. Ospina, F. Carvajal, and F. Rodríguez, 2009. Effect of a Probiotic Compound in Rumen Development, Diarrhea Incidence and Weight Gain in Young Holstein Calves. World Academy of Science, Engineering and Technology 57.

Auclair, E. 2009. Yeast as an example of the mode of action of probiotics in monogastric             and ruminant species. http://www.wcds.afns.ualberta.ca/Proceedings/2009/Manuscri            pts/RoleOfProbiotics.pdf. (Diakses pada tanggal 07 Desember 2010).

Budiansyah, A. 2004. Pemanfaatan probiotika dalam meningkatkan penampilan produksi ternak unggas. http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/09145/agus_budiansyah.pdf.   (Diakses pada tanggal 07 Desember 2010).

Chen, Y.C., C. Nakthong and T.C. Chen, 2005. Improvement of laying hen performance by dietary prebiotic chicory oligofructose and inulin. International Journal of Poultry Science 4 (2): 103-108.

Chiquette, J., 2009. The  Role  of  Probiotics  in  Promoting  Dairy Production. WCDS Advances in Dairy Technology Volume 21: 143-157 

Choudhari, A. S. Shinde and B. N. Ramteke. Prebiotics and probiotics as health promoter. Veterinary World, Vol.1(2): 59-6.

Dimitroglou, A., D. L. Merrifield, R. Moate, S. J. Davies, P. Spring, J. Sweetman and G. Bradley, 2009. Dietary mannan oligosaccharide supplementation modulates intestinal microbial ecology and improves gut morphology of rainbow trout, Oncorhynchus mykiss (Walbaum). J. Anim. Sci. 87:3226-3234. doi: 10.2527/jas.2008-1428.

Donalson, L. M., J. L. McReynolds, W. K. Kim, V. I. Chalova, C. L. Woodward, L. F. Kubena, D. J. Nisbet, and S. C. Ricke, 2008. The Influence of a fructooligosaccharide prebiotic combined with alfalfa molt diets on the gastrointestinal tract fermentation, salmonella enteritidis infection, and intestinal shedding in laying hens. Journal of Poultry Science 87:1253–1262   doi:10.3382/ps.2007-  00166.

Fleige, S., W. Preißinger, H. H. D. Meyer and M. W. Pfaffl, 2009. The immunomodulatory effect of lactulose on calves fed preruminant Enterococcus faecium J. Anim. Sci. 87: 1731-1738. 

Gibson, G.R. and B. Roberfroid, 1995. Dietary modulation of the human colonic microbiota: Introducing the concept of prebiotics. J. Nutr., 125: 1401-1412.

Gibson, G.R. and R. Fuller, 2000. Aspects of in vitro and in  vivo research approaches directed toward identifying  probiotics and prebiotics for human use. J. Nutr., 130: 391-395.

Ghiyasi, M., M. Rezaei* and H. Sayyahzadeh, 2007. Effect of prebiotic (Fermacto) in low protein diet on performance and carcass characteristics of broiler chicks.International Journal of Poultry Science 6 (9): 661-665.

Giger-Reverdin, S. N. Bezaulta, D. Sauvanta, and G. Bertinb, 1996. Effects of a probiotic yeast in lactating ruminants: interaction with dietary nitrogen level. Journal Animal Feed Technology. Volume 63 (1) : 149-162.
Top of Form

Gregori P.C., S. Mallet, A. Travel, and M. Lessire, 2007. Efficiency of a prebiotic and  a   plant extract on broiler performance and intestinal physiology. 16th European             Symposium on Poultry Nutrition. http://www.cabi.org/animalscience/Uploads/File/            AnimalScience/additionalFiles/WPSAStrasbourgAug2007/32.pdf (Diakses pada    tanggal 07 Desember 2010).

Gorgulu, M., A. Siuta, E. Ongel, S. Yurtseven, H. R. Kutlu, 2003. Effect of probiotic on growing performance and health of pedet. Pakistan Journal of Biological Science, 6 (6) : 651-654.

GÜÇLÜ, B.K., 2010. Effects of probiotic and prebiotic (mannanoligosaccharide) supplementation on performance, egg quality and hatchability in quail breeders. Ankara. Üniv Vet Fak Derg, 58, 27-32, 2010.

Haghighi, H. R., Gong, J., L. Carlton. Gyles, M. A. Hayes, H. Zhou, B. Sanei, R. James, Chambers, and S. Sharif, 2006. Probiotics Stimulate Production of Natural Antibodies in Chickens. Clinical And Vaccine Immunology, p. 975–980 Vol. 13, doi:10.1128/CVI.00161-06.

Hassanein, S.M. and N.K. Soliman, 2010. Effect of probiotic (Saccharomyces cerevisiae) adding to diets on intestinal microflora and performance of Hy-Line Layers Hens.Journal of American Science 6 (11).           

Jatkauskas, J. dan V. Vrotniakiene, 2010. Efects of probiotic dietary supplementation on diarrhoea patterns, faecal microbiota and performance of early weaned calves.Veterinarni Medicina 55 (10): 494–503.

Jung S. J., R. Houde, B. Baurhoo, X. Zhao, and B. H. Lee, 2008. Effects of Galacto-Oligosaccharides and a Bifdobacteria lactis-Based Probiotic Strain on the Growth   Performance and Fecal Microfora of Broiler Chickens. Journal of Poultry Science 87:1694–1699, doi:10.3382/ps.2007-00489.

Lila, Z. A., N. Mohammed, T. Yasui, Y. Kurokawa, S. Kanda and H. Itabashi, 2004. Effects of a twin strain of Saccharomyces cerevisiae live cells on mixed ruminal microorganism fermentation in vitro. J. Anim. Sci. 82:1847-1854. 

Panda, A.K., S.R.R., S.M. VLN Raju, dan S.S. Sharma, 2008. Effect of    probiotic (Lactobacillus sporogenes) feeding on egg production and quality, yolk cholesterol and humoral immune response of White Leghorn layer breeders. Journal of the Science of Food and Agriculture Vol. 88, Issue 1, pages 43–47.

Patterson, J. A. and K. M. Burkholder, 2003. Application of prebiotics and probiotics in Poultry Production. Journal of Poultry Science 82:627–631.

Sinovec and R. Markovic, 2005. Using prebiotic in poultry nutrition. Biotechnolgy in Animal Husbandry 21 (5-6), p 235-239.

Syomiti, M., M. Wanyoike, R.G. Wahome and J.K.N. Kuria, 2010. In sacco probiotic properties of effective microorganisms (EM) in forage degradability. Livestock Research for Rural Development 22 (1) 2010.


Trachoo, N. dan C. Boudreaux, 2006. Therapeutic properties of probiotic bacteria. Journal of Biological Science 6 (1) : 202-208.

Ziggers, D., 2000. Tos, a new prebiotic drived from whey. Anim. Feed Sci. and Tech., 5: 34-36.
 

Sabtu, 06 November 2010

PEMANFAATAN TANAMAN HERBAL SEBAGAI FEED ADDITIVE PADA PETERNAKAN BROILER

Abdul Alim Yamin, Achmad Ragil P.N. dan Andi Purnama
Program Kreativitas Mahasiswa Artikel Ilmiah (PKM-AI) DP2M DIKTI 2009

Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan KM.10 Makassar

ABSTRAK
Penggunaan senyawa antibiotik mengalami penurunan dan bahkan di beberapa negara telah melarang penggunaan antibiotik sebagai bahan additive dalam pakan ternak, hal ini disebabkan oleh hadirnya residu dari antibiotik dan resistensi bakteri. Salah satu alternatif yang aman digunakan adalah tanaman herbal, dimana tujuan penggunaan herbal adalah untuk mengganti penggunaan antibiotik dalam pakan dan air minum sebagai feed additive yang dapat memberikan efek negatif pada ternak seperti growth promoter dan pencegah penyakit serta dapat menurunkan kolesterol dalam tubuh ternak. Penyusunan makalah ini dilakukan melalui studi pustaka dari berbagai sumber diantaranya dari jurnal-jurnal penelitian sebelumnya yang sesuai dengan tema yang dibahas. Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ramuan herbal dalam air minum pada level 2.5 ml per liter air minum memberikan pengaruh terbaik terhadap pertambahan bobot badan. Ditinjau dari aspek biologis, level ramuan herbal sebanyak 2.5 ml per liter air minum cenderung memperbaiki konsumsi pakan. Penambahan tepung kunyit dalam ransum sebanyak 0,04% juga dapat meningkatkan konsumsi pakan, sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan herbal pada broiler sebagai feed additive dapat meningkatkan produktivitas broiler.

Kata Kunci : Tanaman Herbal, Feed Additive, Broiler.

PENDAHULUAN

Penggunaan senyawa antibiotik mengalami penurunan dan bahkan di beberapa negara telah melarang penggunaan antibiotik sebagai bahan additive dalam pakan ternak, hal ini disebabkan karena hadirnya residu dari antibiotik yang dapat berbahaya bagi konsumen produk peternakan, di samping itu antibiotik dapat menciptakan mikroorganisme yang resisten dalam tubuh manusia atau ternak terutama bakteri-bakteri patogen diantaranya Salmonella sp..
Salah satu alternatif yang aman digunakan sebagai feed additive pada ransum maupun air minum adalah ramuan dari tanaman-tanaman herbal yang relatif lebih murah dan mudah didapatkan, sehingga akan memberikan keuntungan bagi peternak. Selain itu, ramuan herbal juga mampu menurunkan level kolesterol dalam tubuh ternak sehingga akan berpengaruh pada produk-produk peternakan diantaranya telur dan daging.
Ramuan herbal telah sejak dahulu dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai obat maupun untuk memperbaiki metabolisme dalam tubuh. Laporan ilmiah populer menunjukkan bahwa penggunaan berbagai bahan ramuan herbal untuk manusia juga ampuh menekan berbagai penyakit pada ternak, namun fakta ilmiah belum banyak mengungkapkannya. Perbaikan metabolisme melalui pemberian ramuan herbal secara tidak langsung akan meningkatkan performans ternak melalui zat bioaktif yang dikandungnya. Dengan demikian, ternak akan lebih sehat karena memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik, dan menurut pengamatan peternak aroma daging dan telur ayam yang diberi jamu tidak amis dibandingkan dengan ayam yang tidak diberi jamu (Zainuddin dan Wakradihardja, 2001 dalam Agustina, 2006).
Menurut Rahayu dan Budiman (2008) bahwa tingginya harga obat-obatan dan pakan komersial serta peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keamanan pangan yang dikonsumsinya mendorong pemikiran untuk memanfaatkan berbagai tanaman tradisional baik sebagai feed supplement dan atau obat-obatan. Indonesia kaya sekali akan tanaman tradisional yang memiliki fungsi positif dan belum dieksplorasi secara optimal sampai saat ini. Penggunaan antibiotik sebagai feed additive dalam ransum selama ini memberikan dampak atau pengaruh yang negatif diantaranya adanya residu dan resistensi bakteri. Selain itu, di Indonesia penggunaan antibiotik pada ternak tidak terkontrol, akibatnya memberikan dampak negatif pada ternak maupun manusia yang mengkonsumsi produk peternakan. Saat ini diperlukan bahan-bahan alternatif yang aman dan alami sebagai pengganti fungsi dari antibiotik diantaranya ramuan herbal. Penggunaan herbal sebagai feed additive dalam ransum broiler bertujuan untuk mengganti penggunaan antibiotik sebagai growth promotor dan pencegah penyakit pada ternak unggas sehingga ternak dan manusia dapat terhindar dari residue antibiotik dan resistensi bakteri. Manfaat penggunaan herbal dalam ransum unggas adalah sebagai feed additive yang memiliki dampak positif terhadap peningkatan pertumbuhan dan kesehatan ternak. Selain itu, penggunaan herbal relatif lebih murah dibandingkan dengan antibiotik, sehingga penggunaan herbal kini harus lebih ditingkatkan dan masa yang akan datang dengan cara yang modern.

METODE PENULISAN

Data diperoleh dari beberapa hasi-hasil penelitian, buku, dan artikel-artikel ilmiah yang menyangkut dengan karya tulis ini serta dijadikan landasan penulisan. Pada prinsipnya, tulisan membandingkan berbagai hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai pemanfaatan herbal sebagai pengganti antibiotik dalam pakan yang berfungsi sebagai growth promoter dan pencegah penyakit.
Alur kerangka konseptual penggunaan herbal sebagai feed additive dalam ransum broiler.

Gambar 1. Alur kerangka konseptual

HASIL DAN PEMBAHASAN

Beberapa jenis tanaman herbal yang telah diteliti dan digunakan sebagai pengganti antibiotik dalam ransum maupun air minum yang memiliki efek positif pada unggas. Herbal telah banyak dianjurkan penggunaannya berdasarkan beberapa hasil peneletian dapat dilihat pada tabel 1.

Tebel 1. Beberapa jenis tanaman obat yang digunakan sebagai obat (jamu) dan meningkatkan stamina ternak unggas.

Sumber : Zainuddin, 2006.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Agustina (2006) yang menguji pengaruh ramuan herbal (campuran berbagai herbal) terhadap performans broiler dengan menggunakan tiga perlakuan yaitu P0 (tanpa ramuan herbal), P1 (2.5 ml ramuan herbal perl liter air minum), dan P2 (2.5 ml ramuan herbal perl liter air minum), adapun hasil yang diperoleh yaitu sebagai berikut :

Tabel 2. Pengaruh perlakuan ramuan herbal terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan, persentase karkas, lemak abdominal, total kolesterol.










Sumber : Agustina, 2006.

Dari data di atas dapat dilihat pertambahan bobot badan diperoleh pada perlakuan P1 (P <0,05), hal ini dapat disebabkan karena selain mengandung antibiotik, ramuan herbal juga mengandung minyak atsiri dan kurkumin yang berperan meningkatkan kerja organ pencernaan, merangsang dinding empedu mengeluarkan cairan empedu dan merangsang keluarnya getah pankreas yang mengandung enzim amilase, lipase dan protease untuk meningkatkan pencernaan bahan pakan karbohidrat, lemak dan protein (Winarto, 2003 dan Sastroamidjojo, 2001).
Sedangkan dari hasil penelitian Bintang dan Naatamijaya (2005), menyatakan bahwa penambahan tepung kunyit sebanyak 0,04% dalam ransum broiler dapat memperbaiki konversi pakan. Total kolesterol darah menurun seiring dengan meningkatnya pemberian dosis ramuan herbal dalam air minum P0 (140 mg per dl), P1 (125 mg per dl) dan P2 (111 mg per dl).

Tabel 3. Rataan dan simpangan baku diameter daya hambat ekstrak daun sirih terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.












Sumber : Hermawan, 2007.

Penggunaan sirih juga telah dibuktikan sebagai antibakteri oleh Hermawan (2007), pada tebal di atas menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak daun sirih 2.5, 5 dan 10 % dapat digunakan sebagai bahan antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Sedangkan Hasil uji antibakteri ekstrak daun sirih (Piper betle L.) terhadap bakteri Escherichia coli tampak bahwa perlakuan P4 (antibiotika Sulfonamide) menghasilkan diameter daya hambat sebesar 26,21 milimeter, sedangkan pada perlakuan P1, P2 maupun P3 menghasilkan diameter daya hambat masing-masing sebesar 10,00; 9,420 dan 10,57 mm namun pada perlakuan P0 tidak menunjukkan respon penghambatan. Kemampuan menghambat dari ekstrak daun sirih terhadap Escherichia coli tampaknya lebih lemah dibandingkan dengan antibiotika Sulfonamide. Sedangkan hasil penelitian nursal et. al. (2006) dengan ekstrak jahe (Zingiber officinale) dapat menghambat pertumbuhan koloni bakteri Escherichia coli mulai konsentrasi 6,0% dengan luas daerah hambat 9,5 mm2, sedangkan terhadap Bacillus subtilis mulai dapat dihambat pada konsentrasi 2,0% dengan luas daerah hambat 3,87 mm2. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak jahe yang diujikan, luas daerah hambat yang terbentuk semakin luas.
Kandungan antimikroba dalam herbal dapat menekan pertumbuhan bakteri dalam tubuh ternak secara langsung sehingga dapat menyeimbangkan mikroba dalam saluran cerna sehingga akan mencegah infeksi oleh bakteri patogen yang menghuni saluran cerna ternak. Anonim (2006), menyatakan mekanisme kerja dari zat bioaktif dalam ramuan herbal dalam menurunkan populasi bakteri patogen yaitu dengan cara merusak dinding sel bakteri dan merusak sintesis protein bakteri misalnya kandungan alicin dalam bawang putih. Berbeda dengan fenol dalam membunuh mikroorganisme yaitu dengan cara mendenaturasi protein sel (Pelczar dan Chan, 1981 ; dalam Hermawan, 2007). Akibat terdenaturasinya protein sel, maka semua aktivitas metabolisme sel dikatalisis oleh enzim yang merupakan suatu protein (Lawrence dan Block, 1968 dalam Hermawan, 2007). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mahendra (2005) bahwa rimpang jahe memiliki efek farmakologi seperti melancarkan peredaran darah, anti inflamasi, anti bakteri, melancarkan pengeluaran empedu, antipiretik, dan icteric hepatitis.
Selain dapat menurunkan populasi bakteri patogen dalam saluran cerna, herbal juga mampu menurunkan kolesterol dalam darah ternak sehingga ternak memiliki kandungan kolesterol rendah dan memperlancar sirkulasi darah (Surya, 2008). Mekanisme kerja tersebut yaitu dengan merangsang sekresi cairan empedu yang dapat mengemulsi lemak. Zat-zat bioaktif yang terkandung dalam herbal juga mampu merangsang pankreas untuk mensekresikan getah pancreas yang mengandung enzim-enzim pencernaan seperti enzim amilase, lipase dan protease (Winarto, 2003 dan Sastroamidjojo, 2001). Widodo (2002), menyatakan zat yang terkandung dapat memperbaiki kerja sistem hormonal khususnya metabolisme karbohidrat dan memetabolisir lemak dalam tubuh.


Gambar 2. Skema Mekanisme Umum Tanaman Herbal.

KESIMPULAN
Penggunaan tanaman sebagai feed additive dalam ransum maupun air minum ternak unggas khususnya broiler dapat membantu dalam meningkatkan produktivitas yang diukur dengan produksi, konsumsi pakan, efisiensi pakan dan kesehatan ternak. Selain itu, penggunaan tanaman obat mampu menurunkan kadar kolesterol dalam tubuh ternak sehingga juga akan berpengaruh pada kualitas produk-produk peternakan.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, R, 2006. Penggunaan Ramuan Herbal sebagai Feed Additive untuk Meningkatkan Performans Broiler. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usaha Ternak Unggas Berdaya Saing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Anonim, 2006. Mengenal Bawang Putih Bagi Kesehatan. CP Bulletin Service Nomor 76/Tahun VII Edisi April.
Hermawan, A, 2007. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (piper betle l.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan Metode Difusi Disk. Artikel Ilmiah Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya.
Mahendra, B. 2005. 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh. Cetakan 1. Penebar Swadaya, Jakarta.
Nursal, Wulandari S., dan Juwita W.S. 2006. Bioaktivitas Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Roxb.) dalam Menghambat Pertumbuhan Koloni Bakteri Escherichia coli dan Bacillus subtilis. Jurnal Biogenesis Vol. 2 (2) : 64-66.
Rahayu dan Berlian, 2007. Bawang Merah. Cetakan XIV. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sastroamidjojo, 2001. Obat Asli Indonesia. Cetakan VI. Dian Rakyat, Jakarta.
Widodo, W. 2002. Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Winarto, W. P. 2003. Khasiat dan Manfaat Kunyit. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Zainuddin, Desmayati, 2006. Tanaman Obat Meningkatkan Efisiensi Pakan dan Kesehatan Ternak Unggas. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usaha ternak Unggas Berdaya saing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Jumat, 28 November 2008

Penggunaan Antibiotik dalam Ransum Broiler

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM RANSUM BROILER UNTUK MERANGSANG PERTUMBUHAN

Abdul Alim Yamin
Mahasiswa Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan
Univrsitas Hasanuddin Makassar

PENDAHULUAN

Peternakan saat ini merupakan industri yang sangat berkembang pesat di Indonesia, hal tersebut disebabkan oleh konsumsi masyarakat akan protein telah mengalami pergeseran dari protein nabati ke protein hewani, akan tetapi daya beli masyarakat masih terbatas pada telur dan daging khususnya daging ayam sehingga daging ayam merupakan sumber protein altematif bagi masyarakat pada umumnya. Untuk memeperbaiki kualitas dari ternak (broiler) maka hal yang paling urgen dalam pemeliharaan adalah efisiensi penggunaan pakan.
Penggunaan antibiotik sebagai feed additive merupakan faktor yang dapat menentukan efisiensi pemeliharaan ayam broiler sehingga bahan tersebut sangat dibutuhkan dalam ransum broiler. Feed additive yang sering digunakan adalah antibiotik, yang berfungsi dalam membantu proses penyerapan zat-zat nutrisi sehingga dapat berpengaruh pada performans broiler. Penggunaan antibiotik sebagai feed additive pada pakan broiler telah berlangsung secara luas sejak tahun 1950 an, yang fungsi utamanya adalah untuk mengendalikan penyakit, merangsang pertumbuhan dan meningkatkan konversi pakan (Waldroup et al., 2003).
Antibiotik merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti jamur yang memiliki kemampuan dalam menekan mikrorganisme lain penyebab penyakit di dalam tubuh ternak. Setelah diketahui rumus kimia dari antibiotik maka senyawa tersebut tidak lagi dihasilkan dari mikroorganisme, tetapi dapat dibuat secara sintetik. Olehnya itu, antibiotik selain digunakan sebagai pengobatan, juga digunakan dalam ransum sebagai inibuhan pakan. Fungsi utama antibiotik di dalam pakan unggas sebagai growth promoter atau pemicu pertumbuban ternak, mengendalikan infeksi dari bakteri sehingga dapat membantu dalam memperbaiki penampilan suatu ternak utamanya terbebas dari infeksi penyakit yang dapat mendatangkan kerugian bagi suatu peternakan. Pada akhir-akhir ini pelarangan antibiotik pada pakan ternak tidak dibolehkan, disebabkan oleh adanya residu dan menyebabkan resistensi bakteri khususnya di luar negeri. Akan tetapi, beberapa antibiotik yang aman digunakan tidak menimbulkan resistensi bakteri (kuman) diantamya flavomycin, virginiamycin, dan zinc bacitracin.
Tujuan penggunaan antibiotik sebagai feed additive dapat memperbaiki efisiensi penggunaan pakan pada broiler dan menekan bakteri patogen di dalam saluran pencernaan serta diharapkan tidak menimbulkan residu dan resistensi pada broiler.

Gambaran Umum Antibiotik

Antibiotik adalah produk sekresi mikroorganisme atau substansi kimiawi sintesis yang menghambat perkembangbiakan atau dapat menyebabkan kematiannya. Menurut Subronto (2008) bahwa antibiotik merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik kuman, jamur, dan aktinomiset. Antibiotik memiliki khasiat menghentikan pertumbuhan atau membunuh jasad renik lainnya. Dengan telah diketahuinya rumus kimia berbagai macam antibiotika, senyawa tersebut telah dapat dibuat secara sintetik.
Antibiotik digunakan untuk melawan infeksi dengan cara pencegahan atau pengobatan. Antibiotik diberikan sejumlah 2 sampai 10 gram per ton ransum, merangsang pertumbuhan anak ayam yang dipelihara dalam lingkungan yang tidak bebas hama. Karena zat tersebut merangsang pertumbuhan dan memperbaiki produksi telur dalam keadaan stress, maka zat tersebut membantu dalam pengambilan makanan yang efisien. Antibiotik harus digunakan sesuai dengan petunjuk pabrik yang memproduksinya (Anonim, 2008a). Menurut hasil penelitian Waldroup et al., (2003), bahwa perlakuan pemberian antibiotik pada broiler menunjukkan peningkatan yang signifikan konversi pakan (kg feed:kg gain) pada hari ke 42 pada perlakuan antibiotik yang ditambahkan Bio-Mos.
Menurut Samadi (2002) dalam Kartini (2008) bahwa salah satu cara memodifikasi keseimbangan bakteri di dalam saluran pencernaan dengan pemberian antibiotik. Antibiotik. dipercaya dapat menekan pertumbuhan bakteri-bakteri pathogen yang berakibat melambungnya populasi bakteri menguntungkan dalam saluran pencernaan. Tingginya mikroflora menguntungkan tersebut dapat merangsang terbentuknya senyawa-senyawa antimikrobial, asam lemak bebas dan zat-zat asam sehingga terciptanya lingkungan kurang nyaman bagi pertumbuhan bakteri patogen. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Parks (2006) bahwa ekosistem gastrointestinal unggas merupakan aspek yang sangat penting dalam memperbaiki performans dan kesehatan. Antibiotik meningkatkan performans dengan modifikasi mikroflora saluran cerna, meskipun penggunaannya harus dibatasi. Selain itu, pemberian antibiotik dapat memperbaiki penampilan dari vili-vili usus yang memiliki peranan penting dalam pencernaan yang berfungsi untuk mengabsorpsi zat zat nutrisi bahan pakan.
Menurut Solomons (1978) bahwa penggunaan antibiotik pada pakan ternak memiliki tujuan umum yaitu ; (1) meningkatkan laju pertumbuhan ternak dan efisiensi pakan, mencegah penyakit, dan (3) Pengobatan penyakit. Dari ketiga hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan antibiotik di dalam pakan sangat berarti dalam berproduksi.
Pelarangan penggunaan antibiotik di luar negeri (Eropa) sudah lama diterapkan karena dikhawatirkan adanya residu pada produk-produk ternak seperti daging, telur serta susu. Hal tersebut dikemukakan oleh Anonim (2008b) bahwa U.S Agriculture Department melakukan pemeriksaan terhadap daging, unggas, dan produk olahan telur, jarang ditemukan residu pada level yang aman. Selain itu, pelarangan penggunaan antibiotik untuk manusia. pada ternak yang mengakibatkan resistensi kuman pada tubuh manusia apabila mengkonsumsi produk-produk Peternakan.
Beberapa antibiotik yang masih dianjurkan untuk digunakan saat ini sebagai berikut:
1) Bacitracin, virginiamycin, flavomycin, dan nitrovin boleh dijual untuk digunakan pada pakan babi dan unggas tanpa resep dari dokter hewan.
2) Flavomycin dan nitrovin boleh dijual untuk digunakan pakan pedet tanpa resep dokter hewan.
3) Nifursol, sulfaquinoxaline dan sulfanitran boleh digunakan dalam pakan unggas tanpa resep dokter hewan.
4) Segala anti bakterial yang lain digunakan sebagai obat ternak dibatasi hanya pada dokter hewan (Solomons,1978).

Mekanisme Kerja Antibiotik Secara Umum

Antibiotik memiliki cara kerja sebagai bakterisidal (membunuh bakteri secara langsung) atau bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Pada kondisi bakleriostasis, mekanisme pertahanan tubuh inang seperti fagositosis dan produksi antibodi biasanya akan merusak mikroorganisme. Ada beberapa cara kerja antibiotik terhadap bakteri sebagai targetnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat sintesis protein, merusak membran plasma, menghambat sintesis asam nukleat, dan menghambat sintesis metabolit esensial (Naim, 2003).
Menurut Subronto dan Tjahyati (2008), bahwa kematian kuman oleh antibiotik disebabkan oleh karena antibiotik terikat pada dinding sel, membran sel atau pada reseptor di dalam kuman. Hal ini mungkin teajadi karena antibiotik mampu (a) menghambat sintesis dinding sel kuman atau mengubah struktur (susunan) dinding sel, (b) mengganggu fungsi sel membran, dan atau (c) mempengaruhi sintesis protein atau metabolisme asam nukleat.





Gambar 1. Skema Mekanisme Kerja Antibiotik dalam Usus.

Pengaruh Antibiotik Terhadap Pertumbuhan Ternak

Pertumbuhan adalah berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel organ maupun individu yang bisa diukur dengan berat, ukuran panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik. Menurut Sonjaya (2008) bahwa istilah pertumbuhan dapat diterapkan pada sebuah sel, sebuah organ, sebuah jaringan, seekor individu ternak atau satu populasi ternak, definisi sederhana adalah suatu perubahan dalam bentuk/ukuran yang dapat diukur dalam arti panjang, volume atau massa.
Menurut Tillman dkk, (1986) bahwa pertumbuhan pada hewan bermula dari suatu telur yang telah di buahi dan berlanjut sampai dewasa. Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran keaadaan berat yang dilakukan dengan penimbangan berulang-ulang tiap minggu atau tiap waktu lain.
Dalam pertumbuhan, ternak memerlukan zat-zat nutrisi yang baik misalnya ransum yang berkualitas. Ransum merupakan salah satu faktor yang menemukan kecepatan pertumbuhan, oleh karena itu untuk mencapai pertumbuhan yang optimal sesuai dengan potensi genetik diperlukan suatu ransum yang mengandung cukup unsur gizi secara kualitatif dan kuantitatif (Waskito, 1967) dalam (Kartini, 2008). Menurut hasil penelitian Motl et. al., (2005) bahwa combinasi antara antibiotik dan sulfaquinoxaline dalam pakan memberikan efek yang signifikan terhadap mikroorganisme usus halus yang ditunjukkan dengan perhitungan total plate dan signifikan meningkatkan berat badan dan konversi pakan.
Penggunaan antibiotik dalam memicu pertumbuhan broiler merupakan feed additive yang sangat efektif dan efisien. Di Indonesia, penggunaan antibiotik pada ransum broiler tak dapat dielakkan lagi, sebahagian masyarakat peternak broiler menggunakan antibiotik sebagai pemicu pertumbuhan. dan pengendalian penyakit. Apalagi penggunaan bahan baku lokal dapat menurunkan perfomans vili-vili sehingga perlu adanya antibiotik memperbaiki performans vili-vili. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Rofiq (2003) bahwa penggunaan bahan lokal pada pakan ayam broiler masih belum bisa meningkatkan performans vili, sehingga perlu penambahan pakan tambahan (feed additive) yang dapat menunjang pertumbuhan vili usus halus. Struktur vili dipengaruhi oleh jenis pakan yang berbeda. Pakan lokal yang mengandung serat kasar lebih tinggi mengakibatkan luas permukaan lebih rendah sehingga diperlukan usaha lain untuk meningkatkan mutu nutrisi bahan pakan lokal (fisik, kimia ataupun biologi).
Pada penelitian CELIK et. al, (2001), dengan meaggunakan tiga perlakuan yaitu; 1) pakan kontrol - tanpa feed additive; 2) 2 g flavomycin / kg pakan, 3) 0.2 % Saccharomyces cerevisiae / kg pakan. Maka hasil yang didapatkan (Tabel 1.) dari berat badan pada hari 37 (akhir) sangat signifikan pada perlakuan flavomycin dan Saccharomyces cerevisiae (P<0.05)>

Kesimpulan

1. Penggunaan antibiotik sebagai feed additive dalam pakan broiler sangat berperan dalam memicu pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi pakan.
2. Flavomycin dan Bacitracin dapat digunakan sebagai feed additive dalam ransum broiler.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008a. Antibiotik. Web lab. Unggas UGM. (diakses 21 September 2008).

---------, 2008b. Low Level Use of Antibiotic In Livestock and Poultry. Food Marketing Institute. (diakses 13 September 2008).

---------, 2008c. Introduction of Bacitracin Zinc Premix (Supplementation). (diakses 21 September 2008).

---------, 2008d. Bacitracin Zinc Salt. Sigma-Aldrich Co. All Rights Reserved. (diakses 15 Oktober 2008).

Celik Y. Denli K and Ozturkcan O, 2001. The Effect of Sacrkammyces cerevisiae and Flavomycin on Broiler Growth Performance. Pakistan Journal of Biological Science 4 (11): 1415-1417, 2001. (diakses 19 Oktober 2008).

Kartini, 2008. Pengaruh Pemberian Antibiotik Terhadap Konsumsi Pakan, Pertambahan Berat Badan, dan Konversi Pakan. Fakultas Peternakan Universitas Hasauddin, Makassar.

Motl M.A, C.A. Fritts, and P.W. Waldroup. 2005. Effect of Intestinal Modification by Antibiotic and Antibacterials on Utilization of Methionine Source by Broiler Chicken. Poultry Science Departement, University of Arkansas, Fayetteville, Arkansas. Poultry Science association, Inc.

Park C.W, J.L, Grinies, P.R Ferket, and A.S Fairchild, 2008. The Case for Mannanoligosaccharides in Poultry Diets. An Alternative to Growth Promotant Antibiotic? (diakses 13 September 2008).

Rofiq, M.N. 2003. Pengaruh Pakan Berbahan Baku Lokal Terhadap Performans Vili Usus Halus Ayam Broiler. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, V5. N5, Agustus 2003, hal. 190-194/Humas-BPPT/ANY.

Solomons, I.A, 1978. Antibiotic In Animal Feeds-Human And Aninial Safety Issues. Journal of Aninial Science : 46 : 1360-1368. (diakses 13 September 2008).

Sonjaya, Herry, 2008. Bahan Ajar Fisiologi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Subronto dan Tjahyati, 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Farmakologi Veteriner). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Waldroup P.W, Rondon E.O, dan Fritts C.A., 2003. Comparison of Bio-Mos and Antibiotic Feeding Progmms in Broiler Diets Containiig Copper Sulfate. International Journal of Poultry Science 2 (1) : 28-31, 2003. (diakses 13 September 2008).

Minggu, 23 November 2008

Asam Fitat Pada Bahan Pakan

ASAM FITAT PADA BIJI-BIJIAN
Abdul Alim Yamin
Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak Universitas Hasanuddin

PENDAHULUAN
Adanya senyawa anti nutrisi dalam bahan pakan dapat menjadi pembatas dalam penggunaannya dalam ransum, karena senyawa antinutrisi ini akan menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan dan produksi tergantung dosis yang masuk ke dalam tubuh. Penggunaan bahan pakan yang mengandung antinutrisi harus diolah dulu untuk menurunkan atau menginaktifkan senyawa ini, tetapi perlu dipertimbangkan nilai ekonomis dari pengolahan ini. Beberapa senyawa dapat menghambat penyerapan mineral, seperti konsumsi serat yang berlebih, asam phytat yang terdapat dalam biji-bijian, serta asam oksalat yang terdapat dalam bayam dapat menghambat penyerapan kalsium (Fatimah, 2005).
Asam fitat merupakan zat anti gizi karena mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan mineral yang mengakibatkan kelarutan mineral tersebut menurun, sehingga ketersediaan mineral menjadi rendah.
Asam fitat (mio-inositol heksakisfosfat) merupakan bentuk penyimpanan fosfor yang terbesar pada tanaman serealia dan leguminosa. Dalam biji fitat merupakan sumber fosforus dan inositol utama bagi tanaman, terdapat dalam bentuk garam dengan kalium,kalsium, magnesium, dan logam lain (Avery dan King, 1926). Pada kondisi alami, asam fitat akan membentuk ikatan baik dengan mineral bervalensi dua (Ca, Mg, Fe), maupun protein menjadi senyawa yang sukar larut. Hal ini menyebabkan mineral dan protein tidak dapat diserap tubuh, atau nilai cernanya rendah. Oleh karena itu, asam fitat dianggap sebagai antinutrisi pada bahan pangan.

Gambaran Umum Phytat
Asam fitat merupakan senyawa organik yang terdiri enam senyawa fosfat. Fosfat ini tidak tersedia secara luas pada ternak non ruminansia. Pada ternak ruminansia, bakteri fitase membebaskan ikatan fosfat. Asam phytat dapat membentuk chelate dengan bermacam-macam mineral dan memperoduksi phytat. (Widodo, 2005).
Menurut Cahyohadi (2008) bahwa phytat merupakan salah satu non polysaccharida dari dinding tanaman seperti silakat dan oksalat. Asam phytat termasuk chelat (senyawa pengikat mineral) yang kuat yang bisa mengikat ion metal divalent membentuk phytat komplek sehingga mineral tidak bisa diserap oleh tubuh. Mineral tersebut yaitu Ca, Zn, Cu, Mg dan Fe (Gambar 9.1.) Pada sebagian besar cereal, 60-70 % phosphor terdapat sebagai asam phytat, kecernaan molekul phytat sangat bervariasi dari 0-50 % tergantung bahan makanan dan umur unggas. Unggas muda lebih rendah kemampuan mencerna phytat, tetapi pada unggas dewasa 50%. Kecernaan phytat terjadi karena adanya phytase tanaman atau sintetis phytase dari mikroba usus. Perlakuan panas pada ransum seperti pelleting atau ekstusi tidak terlihat memperbaiki kecernaan pospor- phytat. Asam phtytat merupakan salah satu unsur dari mineral yang dapat mengganggu dalam proses absorpsi kalsium oleh pembentukan senyawa kalsium yang tidak larut.
Mineral merupakan zat nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh ternak khususnya pada ternak yang sedang bertumbuh, yang digunakan dalam pembentukan tulang. Selain itu mineral juga digunakan ternak dalam berproduksi diantaranya produksi susu dan produksi telur (pembentukan kerabang) sehingga mineral mutlak terdapat dalam bahan pakan ternak atau dalam ransum.
Adapun sifat-sifat dari senyawa fitat adalah:
Berperan dalam fungsi fisiologis selama dormansi dan perkecambahan pada biji-bijian.
Melindungi kerusakkan oksidatif pada biji-bijian selama proses penyimpanan.
Menurunkan bioavaibilitas beberapa mineral.
Merupakan antioksidan.
Dapat menurunkan nilai gizi protein karena apabila fitat berikatan dengan protein akan membentuk senyawa kompleks yang mengakibatkan protein menjadi tidak larut (Anonim, 2008).

Tabel 1. Kandungan asam asam phytat pada beberapa bahan pakan.








 
Sumber : Widodo, 2005.

Ketidaklarutan fitat pada beberapa keadaan merupakan salah satu faktor yang secara nutrisional dianggap tidak menguntungkan, karena dengan demikian menjadi sukar diserap tubuh. Dengan adanya perlakuan panas, pH, atau perubahan kekuatan ionik selama pengolahan dapat mengakibatkan terbentuknya garam fitat yang sukar larut. Muchtadi (1998), menyebutkan bahwa asam fitat sangat tahan terhadap pemanasan selama pengolahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk olahan kedelai tanpa fermentasi tetap mengandung asam fitat. Tahap fermentasi dapat mengurangi, bahkan menghilangkan asam fitat, sehingga tempe dan kecap sudah tidak mengandung senyawa tersebut. Tangenjaya (1979), melaporkan bahwa pemanasan pada suhu 100 C, pH 2 selama 24 jam dapat mengurangi kadar fitat sampai dengan 70% (Anonim, 2008).
Peranan fitat dalam kesehatan yang dianggap positif adalah sebagai antioksidan dimana antioksidan dapat berfungsi menangkal adanya radikal bebas maupun senyawa non radikal yang dapat menimbulkan oksidasi pada biomolekuler seperti protein, karbohidrat, lipida, dam lain-lain. Di samping itu, diduga adanya inositol di dalam senyawa fitat dapat dijadikan sebagai sumber energi bagi atlet yang mengkonsumsi minuman suplemen kaya akan fitat. Akan tetapi, dampak negatif bagi kesehatan adalah kemampuannya mengikat mineral dan protein sehingga nilai kecernaannya dalam tubuh menjadi rendah.
Sifat rakhitogenik pada asam fitat disebabkan karena adanya kemampuan membentuk garam yang tidak larut. Menurut Kon et al (1973) dalam (Anonim, 2008), aktivitas rakhitogenik ini dapat dirusak oleh enzim fitase yang umum terdapat pada semua biji-bijian.
Cara Mengurangi Kandungan Phytat
Beberapa senyawa bisa menjadi tidak aktif dengan berbagai proses seperti pencucian, perebusan atau pemanasan. Apabila panas digunakan untuk menginaktifkan senyawa antinutrisi perlu dipertimbangkan agar tidak merubah kualitas nutrisi bahan pakan, tetapi ada beberapa kejadian kalau digunakan panas yang ekstrim bisa juga berperan untuk membentuk senyawa toksik.
Dalam proses penyerapan zat makanan, agar dapat diserap secara keseluruhan proses pemecahan makanan dalam saluran pencernaan harus berlangsung cepat. Jika tidak, maka makanan tersebut hanya lewat saja di saluran pencernaan. Dan terbuang percuma sebagai kotoran. Waktu perjalanan makanan dalam saluran pencernaan dari mulut sampai dibuang dalam bentuk kotoran berkisar hanya 2 jam. Pada ternak unggas satu jam makanan berada dalam usus halus dan melewati villi - villi usus. Dalam hal ini, enzim diyakini dapat berperan dalam mempercepat reaksi perombakan, sehingga fraksi makanan sudah dapat dirombak ke dalam bentuk yang siap diserap sebelum makanan tersebut melewat villi – villi usus halus, hal ini karena enzim memiliki fungsi dasar mempercepat reaksi biokima.
Adapun cara memecahkan masalah adanya P-phytat dalam ransum yaitu :
1. Penambahan phytase: kelemahan dari penambahan phytase ke dalam ransum akan menambah biaya ransum dan phytase mudah rusak selama proses pelleting. Sebagiannbesar phytase didenaturasi pada suhu ? 65oC. Sebaiknya enzym phytase ditambahkan0setelah0proses0pengolahan.
2. Penambahan sumber pospor lainnya kedalam ransum seperti dicalcium pospat. Sebagian besar cereal dan suplemen protein nabati relative rendah kandungan phytase kecuali dedak gandum, sedangkan biji yang mengandung minyak kandungan phytat lebih tinggi (Cahyohadi, 2008).
Cara lain yang digunakan dalam melonggarkan ikatan phytat adalah dengan jalan fermentasi dengan menggunakan EM4. Adapun cara lain selain cara di atas adalah dengan perlakuan fisik seperti pemanasan atau perebusan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pangastuti dan Tribowo (1996) bahwa lama waktu perebusan berpengaruh terhadap kadar asam phytat pada kedele dengan perlakuan P 12 (direndam selama 12 jam sebelum direbus) turun dari 1,360% menjadi 1,113%. Untuk P18 (direndam selama 18 jam sebelum direbus) turun dari 1,480% menjadi 1,300% dan untuk Perlakuan 24 jam (direndam selama 24 jam sebelum direbus) turun dari 1,273% menjadi 1,047%. Perebusan biasanya dilakukan dengan suhu 50 – 60 oC yang dapat menurunkan atau melonggarkan ikatan phytat terhadap fosfor.

KESIMPULAN
Asam fitat merupakan senyawa organik yang dapat mengikat fosfor pada suatu tumbuh-tumbuhan diantaranya jagung, dedak dan lain-lain. Sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan fosfor dalam suatau bahan pakan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Mengenal Jenis Antinutrisi pada Bahan Pakan. CP Buletin Service. Edisi Desember 2007, Nomor 96/Tahun VIII.

----------, 2008. Perubahan Kandungan Senyawa Fitat Selama Pengolahan. http://www.geocities.com/meteorkita/egdp-fitat.rtf.

Cahyohadi, Susetyo, 2008. Phytat. www. Blogger. com.

Fatimah,0Nur02005.0Sekilas0Tentang0Mineral.0http://www.percikaniman.com/mapi/index 2.php?option=content&do_pdf=1&id=109.

Pangastuti dan Triwibowo, 1996. Pengaruh Lama Perendaman, Perebusan dan Pengukusan Terhadap Kandungan Asam Fitat Dalam Tempe Kedelei. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta PPOM Dirjen POM Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Widodo, Wahyu, 2005. Tanaman Beracun dalam Kehidupan Ternak. Universitas Muhammadyah Malang Press, Malang.